Puisi Esai Perlu Untuk Menyegarkan Tradisi Satra Indonesia Yang Sepi.
(245 Views) December 14, 2024 3:42 pm | Published by pimred | No commentPecenongan – SuaraJatim.News – Puisi esai itu seperti mangga-apel, buah mangga ada rasa dan aroma apel, tapi rasa asli mangganya tetap dominan. Jadi begitulah menurut saya puisi esai itu, nuansa yang tampil dominan tetap puisi juga, tapi ada rasanya yang beraroma esai.
Kalau puisi itu dapat disebut berjenis kelamin sastra — yang mengedepankan selera dan gaya ucap yang lembut — tidak fulgar menyebut suatu obyek tertentu, apalagi yang sensitif — maka esai bisa dilihat seperti pendekat yang lincah dan tangkas memainkan jurus serangan atau untuk sekedar bertahan agar tidak kalah begitu saja tanpa perlawanan — meski pada akhirnya tetap kalah, atau justru sebaliknya unggul dalam pertarungan tersebut.
Jadi untuk memahami puisi esai itu, tidak perlu berkerut kening. Seperti menikmati es dawet rasa buah nangka, atau terasa campuran buah sawo. Amsal ini sengaja digunakan, karena buah nangka dan buah sawo sudah relatif langka untuk di pasar tradisional kita, seperti karya puisi pada umumnya yang tidak lagi mempunyai tempat di semua halaman media cetak, sehingga patut dimodifikasi seperti martabak terbaru yang dibumbui dengan telor puyuh utuh.
Artinya tak perlu mendakwa martabak itu tidak lagi otentik sebagai jenis makanan yang konvensional — tak boleh melakukan pembaharuan dalam tampilan maupun citarasanya yang asli — sebab bumi masih terus berputar sejalan awal jagat semesta ini diciptakan — sebagai pertanda dari sunnatullah yang tidak perlu usil untuk dibantah. Sebab terkadang, banyak terlalu banyak hal yang cukup dinikmati saja tanpa perlu mengusut asal usulnya secara usil.
Bagi saya — sebagai makhluk penyuka sastra — jenis kelamin puisi yang ditumpangi oleh adat atau perangai esai itu sah dan halal untuk dikembangkan seperti anak menjangan di Istana Bogor, agar dapat berkembang biak, bebas, seperti makhluk hidup yang perlu dihormati juga hak asasinya sebagai bagian dari ekspresi hidup kita yang tidak egoistis. Meski egoisme itu sendiri tetap diperlukan, asal saja dapat dikendalikan seperti hawa nafsu yang lain.
Pendek kata, saya dan tidak keberatan puisi esai untuk ikut tampil mewarnai khazanah sastra Indonesia yang semakin meredup. Siapa tahu lewat puisi esai yang sudah dideklarasikan oleh Denny JA bisa membangun habitat baru yang lebih segar dan lebih menyala sinarnya untuk menerangi wajah penyair Indonesia yang terkesan malu-malu untuk tampil dalam berbagai event Nasional — apalagi internasional — untuk menandai diri bahwa anak Bangsa sastra Indonesia pun berhak memperoleh hadiah nobel.
Puisi esai ini bagi saya semacam menu alternatif dari gulai ikan berkuah asem pedes atau pindang yang mungkin sudah membosankan itu. Tapi ruh puisinya tetap hidup menyala meskipun diracik dengan gaya esai yang lebih afdol menyajikan fakta: sosok, tempat dan waktu seperti sajian jurnalis yang bersandar pada 5W + 1 H untuk dapat lebih bisa dipertanggung jawabkan saat di Dunia dan di akherat kelak.
Artinya, puisi esai itu bagi saya tampilan kesing puisi yang dilengkapi oleh menu esai agar lebih enak dan perlu dicermati bagi para penikmat sastra yang dulu sajiannya fanatis pada konvensi yang mungkin sudah terasa sangat membosankan. Sebab yang penting dari ruh puisi yang lembut dan tajam itu bisa tampil lebih tangkas merobek cakrawala pandang yang gelap, untuk melihat sosok yang lebih bugil sehingga cahaya pandang dapat menembus kedalam di lubuk hati.
Sah dan afdol nya puisi esai itu untuk hadir dan ditampilkan kepada warga masyarakat sastra, tidak ada bedanya dengan hak esai puisi yang lebih liris memapar suatu topik (masalah) dengan lantun dan irama yang lebih puitis, sehingga makna yang diusung dapat lebih sedap dan asyik untuk direnungkan inti sarinya untuk menambah daya hidup yang semakin loyo akibat kondisi ekonomi yang semakin memburuk sekarang ini.
Intinya, puisi esai tak hanya dihadirkan untuk menghibur, tapi juga dapat menjadi acuan sandingan dalam merenungkan hidup dan kehidupan hari ini dan hari esok dari apa yang sudah kita tanam kemarin. Karena yang tidak kalah penting dari kehadiran puisi esai dalam khazanah sastra Indonesia yang sedang loyo dan mengidap penyakit darah rendah dapat menjadi penyegar gairah hidup, agar sastra Indonesia tidak seperti perangkap hidup di atas batu.
Pecenongan, 12 Desember 2024.
(Redaksi)
Notice: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u3281444/public_html/suarajatim.news/wp-content/themes/magazimple1.0dev/addthis.php on line 4
No comment for Puisi Esai Perlu Untuk Menyegarkan Tradisi Satra Indonesia Yang Sepi.